Sejarah Nusantara diwarnai oleh bangkit dan runtuhnya kerajaan-kerajaan besar yang corak pemerintahannya dipengaruhi oleh agama Hindu dan Buddha. Dimulai sekitar abad ke-5 M, era ini melahirkan pusat-pusat peradaban yang tidak hanya berkuasa di tingkat lokal, tetapi juga mampu menjalin kerja sama dengan kerajaan-kerajaan di luar Kepulauan Indonesia.
Puncak dari peradaban ini terwujud dalam kemegahan Kerajaan Majapahit, yang oleh sejarawan Mohammad Yamin disebut sebagai “Kerajaan Nasional kedua” , dengan tokoh legendaris seperti Patih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk yang berhasil mempersatukan Nusantara.

Dari berdirinya kerajaan pertama seperti Kutai di tepi Sungai Mahakam hingga masa kejayaan Sriwijaya sebagai penguasa maritim, setiap kerajaan meninggalkan warisan abadi berupa sistem pemerintahan, tradisi, dan peninggalan monumental yang megah seperti candi-candi yang hingga kini masih dapat disaksikan.
Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia
1. Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai dipandang sebagai kerajaan Hindu-Buddha yang pertama di Indonesia. Perkembangan kerajaan ini tidak lepas dari sosok Raja Mulawarman.
Lokasi dan Perekonomian
Kerajaan Kutai diperkirakan terletak di daerah Muarakaman di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Sungai Mahakam adalah sungai yang cukup besar dan memiliki beberapa anak sungai; daerah pertemuan antara Sungai Mahakam dan anak sungainya diperkirakan merupakan letak Muarakaman dahulu. Sungai Mahakam dapat dilayari dari pantai sampai masuk ke Muarakaman, sehingga sangat baik untuk perdagangan. Posisi ini sangat menguntungkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
Pada masa pemerintahan Mulawarman, Kutai mengalami zaman keemasan. Kehidupan ekonominya berkembang, masyarakatnya melakukan pertanian karena letaknya di tepi sungai, dan banyak juga yang melakukan perdagangan. Diperkirakan sudah terjadi hubungan dagang dengan luar, di mana jalur perdagangan internasional dari India melewati Selat Makassar, terus ke Filipina dan sampai di Cina, memungkinkan para pedagang singgah terlebih dahulu di Kutai.
Sumber Sejarah
Sumber sejarah Kutai yang utama adalah prasasti yang disebut yupa, yaitu berupa batu bertulis. Yupa juga berfungsi sebagai tugu peringatan dari upacara kurban. Yupa ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Mulawarman, ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Dengan melihat bentuk hurufnya, para ahli berpendapat bahwa yupa dibuat sekitar abad ke-5 M.
Silsilah dan Kehidupan Masyarakat
Prasasti yupa memberikan informasi penting tentang silsilah Raja Mulawarman.
- Kudungga: Nama kakek Mulawarman ini disebutkan dalam prasasti. Ia adalah seorang penguasa lokal yang setelah terkena pengaruh Hindu-Buddha daerahnya berubah menjadi kerajaan. Namanya yang tetap Kudungga berbeda dengan putra dan cucunya yang menggunakan nama berunsur Hindu.
- Aswawarman: Putra Kudungga. Ia dikatakan seperti Dewa Ansuman (Dewa Matahari) dan terkenal sebagai wangsakerta (pendiri dinasti).
- Mulawarman: Putra Aswawarman yang paling terkenal di antara tiga bersaudara. Ia dikatakan sebagai raja yang terbesar di Kutai. Ia adalah pemeluk agama Hindu-Siwa yang setia dan tempat sucinya dinamakan Waprakeswara. Ia juga dikenal sebagai raja yang sangat dekat dengan kaum Brahmana dan rakyat, serta sangat dermawan. Ia pernah mengadakan kurban emas dan memberikan sedekah 20.000 ekor lembu untuk para Brahmana. Sebagai rasa terima kasih dan peringatan mengenai upacara kurban tersebut, para Brahmana mendirikan sebuah yupa. Salah satu yupa menegaskan:
“Sang Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka, telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para brahmana yang seperti api, (bertempat) di dalam tanah yang sangat suci (bernama) Waprakeswara”.
2. Kerajaan Tarumanegara
Sejarah tertua yang berkaitan dengan pengendalian banjir dan sistem pengairan di Nusantara berasal dari masa Kerajaan Tarumanegara. Setelah Kerajaan Kutai berkembang, di Jawa bagian barat muncul Kerajaan Tarumanegara.
Lokasi Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan ini terletak tidak jauh dari pantai utara Jawa bagian barat. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan, letak pusat Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berada di antara Sungai Citarum dan Cisadane. Nama “Tarumanegara” kemungkinan berkaitan dengan kata
tarum yang artinya nila, yang juga menjadi nama Sungai Citarum di Jawa Barat. Berdasarkan Prasasti Tugu, Purbacaraka memperkirakan pusat Kerajaan Tarumanegara ada di daerah Bekasi.
Sumber Sejarah Kerajaan Tarumanegara
Sumber sejarah utama Tarumanegara adalah tujuh buah prasasti yang telah ditemukan, yang berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta.
- Prasasti Tugu: Ditemukan di Kampung Batu Tumbuh, Desa Tugu, dekat Tanjung Priok, Jakarta. Inskripsi ini menyatakan bahwa “Dulu (kali yang bernama) Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia… (yakni Raja Purnawarman), untuk mengalirkannya ke laut… Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnawarman… beliau memerintahkan pula menggali kali yang permai dan berair jernih, Gomati namanya… Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, tanggal delapan paroh gelap bulan Phalguna dan selesai pada tanggal 13 paroh terang bulan Caitra, jadi hanya dalam 21 hari saja, sedang galian itu panjangnya 6.122 busur (± 11 km). Selamatan baginya dilakukan oleh brahmana disertai persembahan 1.000 ekor sapi”.
- Prasasti Ciaruteun: Ditemukan di Kampung Muara, Desa Ciaruteun Hilir, Cibungbulang, Bogor, prasasti ini disertai gambar sepasang telapak kaki. Inskripsi A berbunyi: “ini (bekas) dua kaki, yang seperti kaki Dewa Wisnu, ialah kaki Yang Mulia Sang Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.
- Prasasti Kebon Kopi: Ditemukan di Kampung Muara, Desa Ciaruetun Hilir, Cibungbulang, Bogor, prasasti ini diapit oleh dua buah pahatan telapak kaki gajah. Isinya: “Di sini tampak sepasang telapak kaki…… yang seperti (telapak kaki) Airawata, gajah penguasa Taruma (yang) agung dalam…… dan (?) kejayaan”.
- Prasasti Muara Cianten: Terletak di muara Kali Cianten, Cibungbulang, Bogor. Inskripsi ini belum dapat dibaca dan dipahatkan dalam bentuk “aksara” yang menyerupai sulur-suluran, disebut aksara ikal.
- Prasasti Jambu (Pasir Koleangkak): Terletak di sebuah bukit di Desa Parakan Muncang, Nanggung, Bogor. Isinya: “Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya, adalah pemimpin manusia yang tiada taranya, yang termashur Sri Purnawarman, yang sekali waktu (memerintah) di Tarumanegara dan yang baju zirahnya yang terkenal tiada dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang telapak kakinya, yang senantiasa berhasil menggempur musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging musuh-musuhnya”.
- Prasasti Cidanghiang (Lebak): Terletak di tepi kali Cidanghiang, Desa Lebak, Munjul, Banten Selatan. Isinya: “Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguhnya dari Raja Dunia, Yang Mulia Purnwarman, yang menjadi panji sekalian raja-raja”.
- Prasasti Pasir Awi: Terdapat di sebuah bukit bernama Pasir Awi, di Jonggol, Bogor. Inskripsi ini tidak dapat dibaca karena lebih berupa gambar (piktograf) daripada tulisan. Di bagian atas inskripsi terdapat sepasang telapak kaki.
Pemerintahan dan Kehidupan Masyarakat Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara mulai berkembang pada abad ke-5 M. Raja yang sangat terkenal adalah Purnawarman, yang dikenal gagah berani, tegas, jujur, adil, dan arif dalam memerintah. Ia dekat dengan para brahmana, pangeran, dan rakyat. Daerah kekuasaannya cukup luas sampai ke Banten dan telah menjalin hubungan dengan kerajaan lain seperti Cina.
Dalam kehidupan beragama, sebagian besar masyarakat memeluk agama Hindu, sedikit yang beragama Buddha, dan masih ada yang mempertahankan agama nenek moyang (animisme). Berdasarkan berita dari Fa-Hien, di To-lo-mo (Tarumanegara) terdapat tiga agama: Hindu, Buddha, dan kepercayaan animisme. Raja sendiri memeluk agama Hindu, dibuktikan dengan telapak kakinya pada Prasasti Ciaruteun yang diibaratkan tapak kaki Dewa Wisnu.
Rakyat Tarumanegara hidup aman dan tenteram, dengan pertanian sebagai mata pencaharian pokok. Perdagangan juga berkembang, dengan hubungan dagang antara Tarumanegara, Cina, dan India. Barang-barang yang diperdagangkan adalah kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah. Untuk memajukan pertanian, raja memerintahkan pembangunan irigasi dengan menggali saluran Sungai Gomati sepanjang ±11 km, yang juga berfungsi untuk mencegah bahaya banjir.
3. Kerajaan Kalingga (Holing)
Kerajaan Kalingga atau Holing diperkirakan terletak di Jawa bagian tengah dan berkembang kira-kira pada abad ke-7 sampai ke-9 M.
Lokasi dan Sumber Sejarah Kerajaan Kalingga (Holing)
Nama Kalingga berasal dari Kalinga, sebuah kerajaan di India Selatan. Menurut berita Cina, di sebelah timur Kalingga ada Po-li (Bali), di sebelah barat ada To-po-Teng (Sumatra), di sebelah utara ada Chen-la (Kamboja), dan di sebelah selatan berbatasan dengan samudra. Oleh karena itu, lokasinya diperkirakan terletak di Kecamatan Keling, Jepara, Jawa Tengah, atau di sebelah utara Gunung Muria. Sumber utama mengenai kerajaan ini adalah berita dari Dinasti T’ang di Cina serta Prasasti Tuk Mas yang ditemukan di lereng Gunung Merbabu.
Pemerintahan Ratu Sima
Raja yang paling terkenal pada masa Kerajaan Kalingga adalah seorang raja wanita bernama
Ratu Sima, yang memerintah sekitar tahun 674 M. Ia digambarkan sebagai seorang pemimpin wanita yang tegas dan taat terhadap peraturan. Ia dikenal sebagai raja yang tegas, jujur, dan sangat bijaksana, di mana hukum dilaksanakan dengan tegas dan seadil-adilnya.
Untuk mencoba kejujuran rakyatnya, Ratu Sima pernah meletakkan pundi-pundi di tengah jalan. Ternyata sampai waktu yang lama tidak ada yang mengusik pundi-pundi itu. Akan tetapi, pada suatu hari ada anggota keluarga istana yang sedang jalan-jalan, menyentuh kantong pundi-pundi itu dengan kakinya. Hal ini diketahui Ratu Sima, dan anggota keluarga itu dinilai salah dan harus diberi hukuman mati. Namun, atas usul persidangan para menteri, hukuman itu diperingan dengan hukuman potong kaki. Kisah ini menunjukkan betapa tegas dan adilnya Ratu Sima, yang tidak membedakan antara rakyat dan kerabatnya sendiri.
Kehidupan Masyarakat Kerajaan Kalingga (Holing)
Agama utama yang dianut oleh penduduk Kalingga pada umumnya adalah Buddha, dan agama ini berkembang pesat. Bahkan seorang pendeta Cina bernama Hwi-ning datang ke Kalingga dan tinggal selama tiga tahun. Selama di Kalingga, ia menerjemahkan kitab suci agama Buddha Hinayana ke dalam bahasa Cina dengan dibantu oleh seorang pendeta lokal bernama Janabadra.
Kepemimpinan raja yang adil menjadikan rakyat hidup teratur, aman, dan tenteram. Mata pencaharian penduduk pada umumnya adalah bertani karena wilayah Kalingga subur, dan di samping itu penduduk juga melakukan perdagangan. Kerajaan Kalingga mengalami kemunduran kemungkinan akibat serangan Sriwijaya yang menguasai perdagangan, yang mengakibatkan pemerintahan Kalingga menyingkir ke Jawa bagian timur atau mundur ke pedalaman Jawa bagian tengah antara tahun 742-755 M.
4. Kerajaan Sriwijaya
Sejak permulaan tarikh Masehi, hubungan dagang antara India dengan Kepulauan Indonesia sudah ramai, terutama di daerah pantai timur Sumatra. Sekitar abad ke-7, muncul kerajaan-kerajaan kecil di pantai Sumatra bagian timur seperti Tulangbawang, Melayu, dan Sriwijaya. Dari ketiganya, Sriwijaya berhasil berkembang dan mencapai kejayaannya.
Lokasi dan Faktor Kebangkitan Kerajaan Sriwijaya
Ada berbagai pendapat mengenai letak pusat Kerajaan Sriwijaya, ada yang berpendapat di Palembang, Jambi, bahkan di luar Indonesia. Namun, pendapat yang banyak didukung ahli adalah pusatnya berlokasi di Palembang, di dekat pantai dan di tepi Sungai Musi. Ketika pusat di Palembang mulai mundur, Sriwijaya berpindah ke Jambi.
Beberapa faktor yang mendorong perkembangan Sriwijaya antara lain:
- Letak geografis Palembang: Terletak di tepi Sungai Musi dan di depan muara sungainya terdapat pulau-pulau yang berfungsi sebagai pelindung pelabuhan, menjadikannya sangat tepat untuk kegiatan pemerintahan dan pertahanan. Lokasi ini juga menjadikan Sriwijaya sebagai jalur perdagangan internasional dari India ke Cina atau sebaliknya.
- Runtuhnya Kerajaan Funan: Runtuhnya Kerajaan Funan di Vietnam akibat serangan Kamboja memberi kesempatan bagi Sriwijaya untuk cepat berkembang sebagai negara maritim.
Sumber Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Sumber sejarah Sriwijaya yang penting adalah prasasti yang ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa yang dipakai adalah Melayu Kuno, serta berita dari Cina seperti catatan I-tsing.
- Prasasti Kedukan Bukit (683 M): Ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang. Isinya menerangkan bahwa seorang bernama Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci (
siddhayatra) dengan perahu, berangkat dari Minangatamwan dengan membawa tentara 20.000 personel. - Prasasti Talang Tuo (684 M): Ditemukan di sebelah barat Kota Palembang. Isinya menyebutkan tentang pembangunan sebuah taman yang disebut Sriksetra, yang dibuat oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga.
- Prasasti Telaga Batu: Ditemukan di Palembang, tidak berangka tahun. Isinya terutama tentang kutukan-kutukan yang menakutkan bagi mereka yang berbuat kejahatan.
- Prasasti Kota Kapur (686 M): Ditemukan di Pulau Bangka. Isinya terutama permintaan kepada para dewa untuk menjaga kedatuan Sriwijaya dan menghukum setiap orang yang bermaksud jahat. Prasasti ini juga menceritakan usaha Sriwijaya menaklukkan Bhumi Java yang tidak setia.
- Prasasti Karang Berahi (686 M): Ditemukan di Jambi, isinya sama dengan isi Prasasti Kota Kapur.
- Prasasti Lain: Termasuk Prasasti Ligor (775 M) di Ligor, Semenanjung Melayu, dan Prasasti Nalanda di India Timur.
Perkembangan Politik, Pemerintahan, dan Perluasan Wilayah Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya mulai berkembang pada abad ke-7 M, dengan raja pada awalnya disebut
Dapunta Hyang. Pada abad ke-7, Dapunta Hyang banyak melakukan usaha perluasan daerah. Daerah-daerah yang berhasil dikuasai antara lain:
- Tulang-Bawang di daerah Lampung.
- Daerah Kedah di pantai barat Semenanjung Melayu, yang penting untuk perdagangan dengan India (ditaklukkan antara 682-685 M).
- Pulau Bangka, yang penting untuk jalur perdagangan internasional (dikuasai pada 686 M berdasarkan Prasasti Kota Kapur).
- Daerah Jambi di tepi Sungai Batanghari (penaklukan sekitar tahun 686 M berdasarkan Prasasti Karang Berahi).
- Tanah Genting Kra di bagian utara Semenanjung Melayu (diketahui dari Prasasti Ligor tahun 775 M).
- Kerajaan Kalingga dan Mataram Kuno, diduga Sriwijaya melakukan serangan yang mendesak Kalingga pindah ke timur.
Raja yang terkenal adalah
Balaputradewa, yang memerintah sekitar abad ke-9 M dan membawa Sriwijaya ke zaman keemasan. Ia adalah keturunan Dinasti Syailendra, putra dari Raja Samaratungga dengan Dewi Tara dari Sriwijaya, seperti yang diterangkan dalam Prasasti Nalanda. Ia menjalin hubungan erat dengan Raja Dewapala Dewa dari Kerajaan Benggala, yang menghadiahkan sebidang tanah untuk pendirian asrama bagi para pelajar di Nalanda.
Pada tahun 990 M, raja yang memerintah adalah Sri Sudamaniwarmadewa, yang berhasil menggagalkan serangan Raja Darmawangsa dari Jawa Timur. Ia kemudian digantikan oleh putranya,
Marawijayottunggawarman. Pada masa kejayaannya, wilayah kekuasaan Sriwijaya sangat luas hingga disebut sebagai negara nasional yang pertama oleh Muhammad Yamin. Untuk mengurus daerah kekuasaannya, dipercayakan kepada seorang Rakryan (wakil raja di daerah).
Kehidupan Ekonomi, Agama, dan Kemunduran Kerajaan Sriwijaya
Awalnya penduduk Sriwijaya hidup dengan bertani, namun karena lokasinya yang strategis, perdagangan menjadi mata pencaharian pokok. Sriwijaya menguasai perdagangan nasional dan internasional di perairan Asia Tenggara, termasuk Laut Natuna, Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa. Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya membentuk armada angkatan laut yang kuat untuk mengawasi perairan dan menjamin keamanan para pedagang.
Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha Mahayana di seluruh Asia Tenggara. I-tsing menceritakan bahwa di Sriwijaya tinggal ribuan pendeta dan pelajar agama Buddha, dengan salah satu pendeta terkenalnya adalah Sakyakirti. Peninggalan agamanya antara lain Candi Muara Takus di Riau, arca Buddha di Bukit Siguntang, dan Biaro Bahal di Padang Lawas.
Kerajaan Sriwijaya akhirnya mengalami kemunduran karena beberapa hal:
- Keadaan geografis berubah: Aliran Sungai Musi dan lainnya membawa banyak lumpur, sehingga Sriwijaya tidak lagi dekat dengan pantai dan tidak baik untuk perdagangan.
- Banyak daerah kekuasaan yang melepaskan diri: Hal ini disebabkan melemahnya angkatan laut Sriwijaya.
- Serangan dari kerajaan lain: Tahun 1017 dan 1025 M, Sriwijaya diserang oleh Raja Rajendracola dari Colamandala, yang pada serangan kedua berhasil menawan Raja Sriwijaya, Sri Sanggramawijayattunggawarman. Tahun 1275, Raja Kertanegara dari Singasari melakukan Ekspedisi Pamalayu. Tahun 1377, armada angkatan laut Majapahit menyerang Sriwijaya, yang mengakhiri riwayat kerajaan ini.
5. Kerajaan Mataram Kuno
Pada pertengahan abad ke-8 di Jawa bagian tengah berdiri sebuah kerajaan baru yang kita kenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno. Mengenai letak dan pusatnya, ada yang menyebutkan di Medang dan terletak di Poh Pitu, namun lokasi Poh Pitu sampai sekarang belum jelas. Keberadaan lokasi kerajaan dapat diterangkan berada di sekeliling pegunungan dan sungai-sungai. Di sebelah utara terdapat Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Sindoro; di sebelah barat terdapat Pegunungan Serayu; di sebelah timur terdapat Gunung Lawu, serta di sebelah selatan berdekatan dengan Laut Selatan dan Pegunungan Seribu. Letak Poh Pitu mungkin di antara Kedu sampai sekitar Prambanan.
Sumber Sejarah Kerajaan Mataram Kuno
Untuk mengetahui perkembangan Kerajaan Mataram Kuno dapat digunakan sumber berupa prasasti. Beberapa prasasti yang berkaitan dengan kerajaan ini di antaranya adalah Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Prasasti Klurak, dan Prasasti Kedu atau Prasasti Balitung. Di samping itu, sumber sejarah juga berasal dari berita Cina.
Perkembangan Pemerintahan: Dua Dinasti
Menurut Prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, sebelum Sanjaya berkuasa, di Jawa sudah berkuasa seorang raja bernama
Sanna. Raja Sanna kemudian digantikan oleh
Sanjaya, yang merupakan putra Sanaha, saudara perempuan dari Sanna. Prasasti Sojomerto juga menyebut nama Dapunta Syailendra yang beragama Syiwa (Hindu), yang diperkirakan berasal dari Sriwijaya dan menurunkan Dinasti Syailendra yang berkuasa di Jawa bagian tengah.
- Raja Sanjaya (717–780 M): Setelah berkuasa, Sanjaya menaklukkan raja-raja kecil di sekitarnya. Pada tahun 732 M, ia mendirikan bangunan suci berupa lingga di atas Gunung Wukir (Bukit Stirangga) sebagai lambang keberhasilannya. Di bawah pemerintahannya, kerajaan menjadi aman, tenteram, dan rakyat hidup makmur dengan mata pencaharian utama pertanian padi.
- Rakai Panangkaran: Setelah Sanjaya wafat, ia digantikan oleh putranya, Rakai Panangkaran, yang mendukung perkembangan agama Buddha. Dalam Prasasti Kalasan (778 M), ia memerintahkan pembangunan candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha di Kalasan. Ia juga dikenal sebagai penakluk yang gagah berani dan disebut permata dari Dinasti Syailendra.
- Perpecahan dan Pembangunan Candi: Setelah masa Penangkaran, timbul perpecahan dalam keluarga Syailendra antara penganut agama Buddha dan Hindu. Keluarga yang beragama Hindu berkuasa di Jawa bagian utara dan meninggalkan candi-candi di kompleks Pegunungan Dieng (Candi Bima, Puntadewa, Arjuna, Semar) dan kompleks Candi Gedongsongo. Sementara itu, keluarga yang beragama Buddha berkuasa di Jawa bagian selatan dan meninggalkan candi-candi seperti Candi Ngawen, Mendut, Pawon, dan Borobudur. Candi Borobudur diperkirakan mulai dibangun oleh Raja
Samaratungga pada tahun 824 M. - Penyatuan Kembali: Perpecahan tidak berlangsung lama dan keluarga akhirnya bersatu kembali melalui perkawinan Rakai Pikatan (beragama Hindu) dengan Pramudawardani (putri dari Samaratungga) pada tahun 832 M.
- Konflik Internal: Setelah Samaratungga wafat, anaknya yang bernama Balaputradewa menentang Pikatan, yang menyebabkan perang perebutan kekuasaan. Balaputradewa membuat benteng pertahanan di perbukitan yang sekarang dikenal sebagai Candi Boko. Dalam pertempuran, Balaputradewa terdesak dan melarikan diri ke Sumatra, di mana ia kemudian menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.
- Masa Akhir di Jawa Tengah: Rakai Pikatan turun takhta pada 856 M dan digantikan oleh Kayuwangi (Dyah Lokapala). Ia kemudian digantikan oleh
Dyah Balitung, raja terbesar Mataram yang memerintah pada 898–911 M. Pada masa pemerintahannya, Candi Prambanan dibangun. Setelah Balitung, raja yang berkuasa adalah
Daksa, Tulodong, dan Wawa. Mataram Kuno kemudian mengalami kemunduran akibat bencana alam dan ancaman dari Kerajaan Sriwijaya.
Mahakarya Budaya: Candi Borobudur dan Prambanan
- Candi Borobudur: Didirikan oleh Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra pada abad ke-9, Candi Borobudur merupakan mahakarya yang unik dan dikukuhkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO pada tahun 1991. Candi ini didirikan langsung di atas bukit, berbeda dengan candi di India. Susunannya merupakan sebuah teras-stupa yang menunjukkan kuatnya pengaruh kebudayaan Jawa. Bangunan ini dinamai
Bhumisambharabhudara (bukit peningkatan kebijakan). Strukturnya terdiri dari tiga tingkatan yang melambangkan makrokosmos dalam ajaran Buddha:
kamadatu (alam bawah dengan relief karmawibangga), rupadatu (alam antara), dan arupadatu (alam atas tempat para dewa). - Pesona Legenda Candi Prambanan: Legenda rakyat menceritakan asal mula Candi Prambanan dari kisah Bandung Bondowoso yang membangun seribu candi untuk Roro Jonggrang. Sosok Roro Jonggrang sering diwujudkan sebagai arca Durga Mahisasuramardini di Candi Siwa. Secara historis, Candi Prambanan dibangun pada abad ke-9 Masehi atas perintah raja dari Dinasti Sanjaya, yaitu
Rakai Pikatan. Kompleks ini merupakan bangunan suci agama Hindu yang terdiri atas Candi Siwa, Wisnu, Brahma, serta candi-candi pendamping. Kedekatan letak Candi Prambanan dengan candi-candi Buddha seperti Candi Sewu, Bubrah, dan Lumbung menunjukkan adanya toleransi antara penduduk beragama Hindu dan Buddha pada masa itu.
Kekuasaan Dinasti Isyana di Jawa Timur
Pertentangan di antara keluarga Mataram tampaknya terus berlangsung hingga pada tahun 929 M,
Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa Timur). Pemindahan ini juga diduga karena kehancuran akibat letusan Gunung Merapi. Mpu Sindok mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti Isyanawangsa.
- Setelah Mpu Sindok meninggal, ia digantikan oleh putrinya, Sri Isyanatunggawijaya, yang menikah dengan Sri Lokapala.
- Putra mereka, Makutawangsawardana, naik takhta menggantikan ibunya.
- Pemerintahan dilanjutkan oleh Dharmawangsa Tguh, yang memerintahkan penyaduran kitab Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuno.
- Setelah Dharmawangsa turun takhta, ia digantikan oleh Airlangga. Setelah kerajaannya hancur, Airlangga berkelana ke hutan sebelum dinobatkan kembali sebagai raja oleh pendeta Hindu dan Buddha. Pada tahun 1037 M, ia berhasil mempersatukan kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai Dharmawangsa.
- Pada tahun 1042, Airlangga mengundurkan diri dari takhta kerajaan untuk hidup sebagai pertapa dengan nama Resi Gentayu. Ia memerintahkan Mpu Bharada untuk membagi kerajaannya menjadi dua untuk mencegah perang saudara di antara kedua putranya: Kerajaan Janggala (untuk Garasakan) dan Kerajaan Panjalu/Kediri (untuk Samarawijaya).
6. Kerajaan Kediri
Kehidupan politik awal di Kerajaan Kediri ditandai dengan perang saudara antara Samarawijaya yang berkuasa di Panjalu dan Panji Garasakan yang berkuasa di Jenggala.
Perkembangan Politik dan Raja-raja Kerajaan Kediri
- Pada tahun 1052 M terjadi peperangan perebutan kekuasaan. Pada tahap pertama, Panji Garasakan berhasil mengalahkan Samarawijaya.
- Setelah itu berita mengenai Kerajaan Panjalu dan Jenggala tidak terdengar hingga pada tahun 1104 M tampil Kerajaan Panjalu (lebih dikenal sebagai Kerajaan Kediri) dengan rajanya
Jayawangsa. - Pada tahun 1117 M, Bameswara tampil sebagai Raja Kediri.
- Pada tahun 1135 M, tampil raja yang sangat terkenal, yakni Raja Jayabaya. Ia meninggalkan tiga prasasti penting, termasuk Prasasti Hantang (1135 M) yang memuat tulisan panjalu jayati (Panjalu menang) untuk mengenang kemenangan Panjalu atas Jenggala.
- Raja terakhir adalah Kertajaya atau Dandang Gendis. Pada masa pemerintahannya, terjadi pertentangan antara raja dan kaum brahmana karena Kertajaya dianggap sombong dan berani melanggar adat. Para brahmana kemudian mencari perlindungan kepada Ken Arok. Pada tahun 1222 M, Ken Arok dengan dukungan kaum brahmana menyerang Kediri dan berhasil mengalahkannya.
Kehidupan Sosial, Ekonomi, dan Budaya Kerajaan Kediri
Setelah Jayabaya berhasil menstabilkan kerajaan, kehidupan di Kediri menjadi teratur dan rakyat hidup makmur. Mata pencaharian penting adalah pertanian (padi), serta pelayaran dan perdagangan yang didukung oleh angkatan laut yang tangguh. Barang dagangan di Kediri antara lain emas, perak, gading, dan kayu cendana.
Di bidang kebudayaan, yang menonjol adalah perkembangan seni sastra dan pertunjukan wayang panji. Beberapa karya sastra yang terkenal:
- Kitab Baratayuda: Ditulis pada zaman Jayabaya oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, menggambarkan perang saudara antara Panjalu dan Jenggala.
- Kitab Kresnayana: Ditulis oleh Mpu Triguna pada zaman Raja Jayaswara.
- Kitab Smaradahana: Ditulis pada zaman Raja Kameswari oleh Mpu Darmaja.
- Kitab Lubdaka: Ditulis oleh Mpu Tanakung pada zaman Raja Kameswara.
7. Kerajaan Singasari
Setelah berakhirnya Kerajaan Kediri, berkembanglah Kerajaan Singasari yang pusatnya kira-kira terletak di dekat Kota Malang, Jawa Timur.
Raja-Raja yang Memerintah Singasari
- Ken Arok (1222 – 1227 M): Pendiri Kerajaan Singasari, ia berhasil menjadi raja meskipun berasal dari kalangan rakyat biasa. Menurut Kitab Pararaton, ia adalah anak seorang petani dari Desa Pangkur. Setelah membunuh Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, dengan keris Mpu Gandring, Ken Arok menjadi penguasa di Tumapel dan memperistri Ken Dedes. Pada tahun 1222 M, ia mengalahkan Raja Kertajaya dari Kediri dalam pertempuran di Ganter, lalu menyatukan wilayah Kediri dan Tumapel menjadi Kerajaan Singasari. Ia bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Pada tahun 1227 M, ia dibunuh oleh seorang pesuruh atas perintah Anusapati, putra Ken Dedes dengan Tunggul Ametung.
- Anusapati (1227 – 1248 M): Naik takhta pada tahun 1227 M dan memerintah selama 21 tahun. Ia dibunuh oleh Tohjoyo (putra Ken Arok) sebagai balas dendam saat Anusapati sedang menyabung ayam.
- Tohjoyo (1248 M): Masa pemerintahannya sangat singkat. Ia menghadapi tuntutan dari
Ronggowuni (putra Anusapati) yang merasa lebih berhak atas takhta. Dalam pertempuran, Tohjoyo kalah dan meninggal akibat luka-lukanya. - Ronggowuni (1248 – 1268 M): Naik takhta pada tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardana. Ia memerintah didampingi oleh Mahesa Cempaka (bergelar Narasimhamurti). Pada tahun 1254 M, ia mengangkat putranya, Kertanegara, sebagai raja muda (Yuwaraja). Di bawah pemerintahannya, Singasari hidup dalam keadaan aman dan tenteram.
- Kertanegara (1268 – 1292 M): Naik takhta pada tahun 1268 M dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Ia merupakan raja paling terkenal di Singasari, dengan cita-cita menjadikan Singasari kerajaan besar yang meliputi seluruh Nusantara. Untuk mewujudkan cita-citanya, ia melakukan beberapa usaha:
- Perluasan Daerah: Menaklukkan Bali, Kalimantan Barat Daya, Maluku, Sunda, dan Pahang. Pada tahun 1275 M, ia mengirimkan Ekspedisi Pamalayu di bawah pimpinan Mahesa Anabrang untuk menguasai Sriwijaya.
- Politik Luar Negeri: Menjalin hubungan dengan Kerajaan Campa dan memandang Cina sebagai saingan. Ia menolak mengakui kekuasaan Cina dan menyakiti utusan Kaisar Kubilai Khan, Mengki, pada tahun 1289 M.
- Pemerintahan Dalam Negeri: Membentuk badan-badan pelaksana dan mengangkat tim penasihat (Rakryan i Hino, Sirikan, Halu) serta pejabat tinggi (Mapatih, Demung, Kanuruhan). Ia juga mengganti pejabat yang tidak setuju dengan cita-citanya.
- Kehidupan Agama: Agama Hindu maupun Buddha berkembang dengan baik, bahkan terjadi sinkretisme menjadi bentuk Syiwa-Buddha. Kertanegara sendiri adalah penganut aliran Tantrayana.
Keruntuhan Singasari
Saat banyak pasukan Singasari dikirim ke berbagai daerah, ibu kota menjadi lemah. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Jayakatwang, penguasa Kediri, untuk menyerang. Pada tahun 1292 M, saat Kertanegara sedang melakukan upacara keagamaan, Jayakatwang menyerbu istana dari dua arah dan berhasil menewaskannya. Dengan terbunuhnya Kertanegara, berakhirlah Kerajaan Singasari.
8. Kerajaan Majapahit
Setelah Singasari jatuh, berdirilah Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur antara abad ke-14 ke-15 M.
Pendirian Kerajaan Majapahit
Pendirian kerajaan ini direncanakan oleh Kertarajasa Jayawarddhana (Raden Wijaya) untuk melanjutkan kemegahan Singasari. Dengan dibantu oleh Arya Wiraraja, seorang penguasa Madura, Raden Wijaya membuka hutan di wilayah yang disebut dalam Kitab Pararaton sebagai “hutannya orang Trik”. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja dan rasanya yang “pahit”. Ketika pasukan Mongol tiba, Raden Wijaya bersekutu dengan mereka untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang pasukan Mongol sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya.
Pemerintahan dan Masa Keemasan
- Pemerintahan Raden Wijaya diwarnai pemberontakan yang dilakukan oleh sahabat-sahabatnya sendiri.
- Setelah wafat, ia digantikan oleh putranya, Jayanegara, yang dikenal sebagai raja yang kurang bijaksana dan lebih suka bersenang-senang. Kondisi ini menyebabkan pemberontakan, yang paling berbahaya adalah pemberontakan Kuti. Saat itu, pasukan Kuti berhasil menduduki ibu kota, dan Jayanegara terpaksa menyingkir ke Desa Badander di bawah perlindungan pasukan Bhayangkara pimpinan Gajah Mada. Gajah Mada kemudian menyusun strategi dan berhasil menghancurkan pasukan Kuti. Atas jasa-jasanya, Gajah Mada diangkat sebagai Patih Kahuripan (1319-1321 M) dan Patih Kediri (1322-1330 M).
- Masa pemerintahan Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwarddani adalah masa pembentukan kemegahan kerajaan. Ia berkuasa hingga tahun 1350 dan diteruskan oleh putranya,
Hayam Wuruk. - Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389 M) dan Patih Gajah Mada, Majapahit mencapai zaman keemasan.
Sumpah Palapa dan Wilayah Kekuasaan
Pada saat diangkat sebagai Mahapatih, Gajah Mada bersumpah bahwa ia tidak akan beristirahat (amukti palapa) jika belum dapat menyatukan seluruh Nusantara. Sumpah ini dikenal dengan Sumpah Palapa:
“Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, amun kalah ring Gurun, ring seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, saman isun amukti palapa”. Sumpah ini benar-benar dilaksanakan, didukung oleh tokoh seperti Adityawarman dan Laksamana Nala. Di bawah pimpinan Laksamana Nala, Majapahit membentuk angkatan laut yang sangat kuat. Menurut Kakawin Nagarakertagama, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura), dan sebagian Kepulauan Filipina. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, Vietnam, dan Tiongkok.
Politik, Pemerintahan, dan Kehidupan Sosial Ekonomi
Majapahit mengembangkan sistem pemerintahan yang teratur, dengan raja memegang kekuasaan tertinggi.
- Struktur Pemerintahan: Raja dibantu oleh berbagai badan atau pejabat, termasuk:
- Rakryan Mahamantri Katrini: Dijabat oleh para putra raja (Rakryan i Hino, i Sirikan, dan i Halu).
- Dewan Pelaksana (Sang Panca ring Wilwatika): Terdiri atas Rakryan Mapatih atau Patih Mangkubumi, Rakryan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan Rangga, dan Rakryan Kanuruhan. Patih Mangkubumi merupakan pejabat terpenting setingkat perdana menteri.
- Dewan Pertimbangan (Batara Sapta Prabu).
- Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, dibentuk badan peradilan
Saptopapati dan kitab hukum Kutaramanawa oleh Gajah Mada.
- Kehidupan Beragama: Untuk mengatur kehidupan beragama, dibentuk pejabat Dharmadyaksa, yang terbagi menjadi Dharmadyaksa ring Kasaiwan (mengurusi agama Syiwa/Hindu) dan Dharmadyaksa ring Kasogatan (mengurusi agama Buddha). Pemeluk Hindu dan Buddha saling bersatu, dan pada masa itu pun sudah dikenal semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
- Kehidupan Sosial Ekonomi: Di bawah pemerintahan Hayam Wuruk, rakyat Majapahit hidup aman dan tenteram. Pembangunan jalan-jalan dan jembatan mendukung lalu lintas dan perekonomian, terutama perdagangan. Kota-kota pelabuhan seperti Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban menjadi pusat pelayaran dan perdagangan yang ramai, didatangi pedagang dari Cina, India, dan Siam.
Sumber Buku : bintangpusnas.perpusnas.go.id/konten/BK12017/buku-siswa-sejarah-indonesia-kelas-10-edisi-revisi-2017